alexposada – Penanganan kekerasan seksual di Indonesia memerlukan pendekatan yang peka terhadap budaya dan konteks tertentu
Tody Utama dan Jacqueline Vel
Pada bulan April 2022, setelah proses yang panjang dan rumit selama satu dekade , Undang-Undang tentang Kejahatan Kekerasan Seksual (TPKS) akhirnya disahkan. Aktivis hak asasi manusia dan perempuan merayakan pengesahannya dengan harapan undang-undang ini akan menciptakan momentum bagi perubahan struktural dan kultural terkait kekerasan seksual di Indonesia. Sebelumnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sejumlah undang-undang lainnya telah mengatur kekerasan seksual dengan berbagai sanksi. Para pendukung mengklaim undang-undang baru ini adalah yang paling komprehensif yang ada karena mengatur sembilan jenis kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual dan kontrasepsi paksa hingga pernikahan paksa. Undang-undang baru ini juga memberikan kesempatan bagi korban untuk menerima rehabilitasi, mencari restitusi dari pelaku dan menerima kompensasi dari negara.
Biasanya, undang-undang baru ini mempromosikan perlindungan hak individu. Seperti pendahulunya, undang-undang ini sangat dipengaruhi oleh kampanye hak asasi manusia global untuk pendekatan berbasis hak , yang memandang hak perempuan sebagai hak individu yang harus diakui dan dilindungi secara universal. Pendekatan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penerapannya tidak akan sesuai dengan kompleksitas sosial budaya dalam kehidupan sehari-hari para korban dan pelaku. Kasus penculikan pengantin di Sumba, sebuah pulau di timur Indonesia, menggambarkan kesenjangan ini.
Alasan penculikan pengantin
Pada bulan Juni 2020, di sebuah pasar tradisional di Sumba, seorang perempuan dibawa paksa oleh sekelompok laki-laki, dimasukkan ke dalam mobil, dan dibawa pergi. Ia menangis dan berusaha melarikan diri, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat (atau ingin) menghentikan aksi ini. Seorang penonton merekam momen tersebut dan mengunggah videonya di internet yang kemudian menjadi viral . Penculikan pengantin ini menjadi contoh kekerasan seksual berbasis budaya yang terkenal secara nasional dan dibingkai sebagai bagian dari tradisi Sumba, yang secara lokal dikenal sebagai ‘piti maranggangu’ (diterjemahkan secara bebas sebagai penangkapan saat bertemu di depan umum). Ungkapan ini merujuk pada tindakan mengeluarkan seorang gadis dari kelompok pendampingnya saat ia berada di ruang publik, seperti pasar desa, atau menangkapnya saat ia berjalan di jalan umum.

Aktivis nasional dan pejabat pemerintah marah dan menyerukan pelarangan adat istiadat setempat yang melanggar hak dan martabat perempuan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendesak polisi untuk mengadili para tersangka. Aktivis hak-hak perempuan setempat di Sumba merasa dikuatkan oleh dukungan nasional ini – dan kemudian, oleh Undang-Undang baru tentang Kejahatan Kekerasan Seksual, yang mendorong pelarangan praktik tersebut dan menghukum para pelaku. Namun, meskipun ada kecaman yang meluas ini dan meskipun beberapa peraturan sekarang memberikan dasar hukum untuk hukuman pidana, penuntutan terhadap para pelaku sejauh ini jarang terjadi. Mengapa demikian, dan apakah undang-undang baru tersebut mengatasi masalah mendasar yang menyebabkan kekerasan tersebut?
Penculikan pengantin sebagai bentuk perkawinan paksa bukanlah masalah yang hanya terjadi di Sumba. Hal ini terjadi di Kirgistan , Afrika Selatan , dan di banyak negara lainnya . Bagi masyarakat ini, perkawinan lebih dari sekadar ikatan individu antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Perkawinan adalah lembaga sosial yang dibentuk secara rumit oleh konteks lokal, termasuk kekerabatan, kelas sosial, kepercayaan, dan ekonomi politik setempat. Dalam masyarakat ini, perkawinan tidak hanya berfungsi sebagai ikatan antara dua individu tetapi juga untuk membangun dan memperkuat aliansi antara klan atau keluarga. Perkawinan mencerminkan tatanan sosial yang lebih luas yang melampaui tingkat pribadi dan mencakup ikatan komunal dan masyarakat yang lebih luas.
Dengan kompleksitas ini, penculikan pengantin menjadi fenomena yang memiliki banyak sisi. Penculikan bukan hanya sekadar penculikan terhadap perempuan atau gadis (apa pun), tetapi juga cara alternatif untuk menikah. Di Sumba, gaya dan alasan penculikan pengantin beragam. Dalam beberapa kasus, penculikan tersebut merupakan penculikan paksa terhadap seorang perempuan oleh sekelompok laki-laki, yang pada akhirnya ditujukan untuk dinikahkan. Meskipun praktik tersebut melibatkan kekerasan dan pemaksaan, persetujuan merupakan elemen penting yang dapat menentukan apakah penculikan tersebut dapat diterima secara sosial atau tidak.
Pertanyaan tentang persetujuan
Secara tradisional, yang penting bukanlah persetujuan mempelai wanita atau pria. Sebaliknya, persetujuan para pemimpin dan kedua klan yang terlibat, menentukan keabsahan pasangan tersebut. Pernikahan yang dihasilkan terutama dilakukan menurut norma dan prinsip adat dan berkembang menjadi gaya umum pernikahan yang diatur. Setelah penculikan, perwakilan dari keluarga mempelai pria biasanya akan mengunjungi keluarga mempelai wanita untuk terlibat dalam negosiasi untuk mendapatkan persetujuan mereka atas pernikahan tersebut. Pertemuan-pertemuan ini berfungsi sebagai kesempatan untuk rekonsiliasi, mengatasi konsekuensi dari penculikan tersebut. Selain itu, diskusi berkisar pada penentuan jumlah kekayaan pengantin yang harus dibayarkan oleh keluarga mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita sebagai bagian dari perjanjian pernikahan. Proses ini mencerminkan sifat komunal dari pengambilan keputusan, di mana keterlibatan dan konsensus keluarga memainkan peran penting dalam membentuk hasil dan penyelesaian situasi tersebut.
Dalam kasus lain, penculikan pengantin melibatkan persetujuan dari pihak perempuan dan laki-laki (dan bukan dari orang tua mereka), khususnya ketika menyangkut kawin lari yang dipentaskan sebagai penculikan pengantin yang disertai kekerasan. Hal itu terjadi ketika dua orang yang sedang kasmaran tidak mau menunggu hingga keluarga mereka mencapai konsensus dalam negosiasi pernikahan dan akhirnya memberikan persetujuan mereka. Dalam kasus seperti itu, pasangan tersebut menggunakan kawin lari sebagai strategi untuk melepaskan diri dari adat masyarakat mereka. Dalam kasus seperti itu, penculikan pengantin dapat dianggap sebagai pertunjukan yang dipentaskan secara tradisional yang direncanakan oleh kedua pasangan.
Pada spektrum yang paling ekstrem, ada penculikan dengan kekerasan yang terjadi tanpa tujuan pernikahan dan tanpa persetujuan dari keluarga atau korban. Penculikan seperti itu secara luas dianggap sebagai kejahatan yang harus dihukum, juga menurut adat.
Solusi yang diterima secara sosial
Berdasarkan Undang-Undang tentang Kejahatan Kekerasan Seksual tahun 2022, polisi berwenang untuk mendakwa mereka yang bertanggung jawab atas penculikan pengantin. Namun, masih belum jelas bagaimana hukum akan diterapkan dalam situasi yang rumit seperti yang terjadi di Sumba. Siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus-kasus seperti itu yang melibatkan keluarga sendiri? Kerangka hukum formal yang ada, yang umumnya didasarkan pada pendekatan berbasis hak, menyediakan alat yang terbatas untuk memahami seluk-beluk masalah ini, yang sering kali mengarah pada solusi dan pemulihan yang berfokus pada individu. Akibatnya, kompleksitas yang lebih luas dan aspek komunal yang terkait dengan praktik budaya seperti penculikan pengantin sering kali diabaikan dan masih banyak pertanyaan yang harus dijawab. Apakah penculikan pengantin merupakan masalah penindasan hak dan suara perempuan, atau indikator perlawanan terhadap penindasan aturan adat? Mengapa begitu sedikit kasus penculikan pengantin yang dilaporkan ke polisi dan dituntut? Apakah kurangnya akses ke keadilan negara bagi para korban menjadi alasannya, atau apakah itu merupakan tanda penerimaan sosial terhadap penculikan pengantin?
Diskusi ini tidak dimaksudkan untuk meremehkan pentingnya Undang-Undang tentang Kejahatan Kekerasan Seksual yang baru. Undang-undang ini merupakan tonggak penting bagi Indonesia dalam menangani kekerasan seksual. Namun, penting juga bagi kerangka hukum Indonesia untuk mulai bergerak melampaui kriminalisasi dan pendekatan berbasis hak asasi. Kerangka hukum ini harus mendorong gerakan sosial budaya dalam menanggapi kekerasan seksual. Untuk mencapai hal ini, diperlukan pendekatan yang lebih peka terhadap budaya dan konteks tertentu untuk secara aktif melibatkan masyarakat dan struktur adat.

Ada berbagai cara untuk mendorong kolaborasi ini. Selain proyek pendidikan dan pemberdayaan, pemerintah nasional dan daerah perlu memfasilitasi lembaga adat atau peradilan lokal untuk mengidentifikasi spektrum penculikan pengantin dan mengembangkan norma-norma yang diterima secara sosial untuk menangani berbagai bentuk ‘penculikan’ tersebut. Pengetahuan yang dihasilkan masyarakat ini dapat membantu kebijakan dan tindakan pemerintah agar lebih peka terhadap budaya dan memperluas pemahaman tentang kekerasan seksual di luar perspektif yang berpusat pada negara.
Jalur yang peka terhadap budaya
Mengingat tatanan sosial ini, peraturan dan lembaga peradilan negara juga harus terbuka terhadap penyelesaian konflik di luar pengadilan atau berdasarkan adat, yang memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian. Mekanisme penyelesaian konflik berbasis masyarakat, yang berakar pada pengetahuan, adat istiadat, dan norma lokal, dapat mendorong respons negara terhadap kekerasan seksual melampaui pendekatan yang semata-mata menghukum. Pada saat yang sama, penting untuk memastikan bahwa penyelesaian alternatif ini memprioritaskan hak dan kesejahteraan perempuan dan menghindari viktimisasi ulang.
Dengan mengadopsi pendekatan yang peka terhadap budaya dan konteks tertentu, penculikan pengantin yang disertai kekerasan dapat dianggap sebagai tindakan kriminal menurut hukum negara bagian dan juga pelanggaran norma setempat. Hal ini juga akan membuat sanksi hukum dan tanggapan pemerintah lebih peka terhadap realitas komunal dan kebutuhan perempuan dan pemuda. Pendekatan ini mengakui pentingnya praktik, nilai, dan kepercayaan khusus komunitas, sekaligus memastikan perlindungan dan kesejahteraan korban. Pendekatan ini memungkinkan pengembangan intervensi dan sistem pendukung yang berakar kuat dalam tatanan sosial masyarakat, yang mendorong upaya kolektif untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual secara efektif.