Hukum Digital dan Teknologi

Hukuman di Indonesia yang Tidak Masuk Akal: Antara Realita dan Ironi Hukum

alexposada – Sistem hukum di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, dirancang untuk menciptakan keadilan, menjaga ketertiban, dan memberikan efek jera bagi pelanggar hukum. Namun, kenyataan di lapangan sering kali menampilkan wajah yang berbeda dari idealisme tersebut. Banyak kasus di Indonesia yang memunculkan pertanyaan publik karena vonis atau hukuman yang dijatuhkan terkesan tidak masuk akal, tidak proporsional, dan bahkan menyinggung rasa keadilan masyarakat.

Fenomena ini menjadi sorotan tajam karena mencerminkan ketimpangan dalam penerapan hukum dan memperlihatkan bagaimana keadilan bisa menjadi sesuatu yang relatif, tergantung siapa pelakunya dan seberapa besar kekuatan di belakangnya.

1. Kasus Pencurian Ringan, Hukuman Berat

Sudah menjadi pemandangan umum di berbagai media ketika seseorang yang mencuri barang dengan nilai kecil—bahkan di bawah Rp 100.000—dijatuhi hukuman penjara hingga berbulan-bulan. Contoh paling ikonik adalah kasus seorang nenek bernama Minah, yang pada tahun 2009 dihukum 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 buah kakao di kebun milik PT Rumpun Sari Antan. Meski akhirnya ia mendapatkan penangguhan hukuman, proses hukum itu sendiri sudah cukup menyiksa secara mental dan fisik.

Kontras dengan kasus ini, banyak pejabat publik yang mencuri ratusan miliar rupiah dari uang rakyat, namun dihukum lebih ringan, mendapatkan fasilitas mewah di dalam penjara, atau bahkan dipotong masa hukumannya lewat remisi.

2. Ketimpangan Kasus Narkoba dan Korupsi

Di Indonesia, pelaku kasus narkoba sering kali menerima hukuman berat, bahkan sampai hukuman mati. Hal ini bisa dipahami jika pelakunya adalah bandar besar. Namun dalam banyak kasus, pengguna atau kurir kecil yang bahkan tidak paham apa yang mereka bawa, dijatuhi hukuman belasan hingga puluhan tahun.

Sebaliknya, dalam kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah dan menghancurkan masa depan generasi mendatang, para pelaku sering kali menerima hukuman yang lebih ringan. Ada pula beberapa yang dihukum hanya 2-4 tahun, dan setelah itu kembali hidup nyaman. Kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dan Setya Novanto menjadi contoh bahwa meskipun mereka dihukum, prosesnya penuh drama dan terkesan mengandung banyak celah negosiasi politik dan kekuasaan.

3. Hukum yang Kaku, Tidak Melihat Konteks

Hukum di Indonesia juga sering kali tidak mempertimbangkan konteks sosial atau psikologis di balik suatu pelanggaran. Misalnya, seorang ibu rumah tangga bisa dijatuhi hukuman karena menampar anak remaja yang mengganggu anaknya, atau karena mengkritik pejabat melalui media sosial. Padahal, konteks tindakan tersebut sangat berbeda dari niat kriminal murni. Namun karena hukum dijalankan secara kaku dan formalistik, masyarakat biasa sering kali menjadi korban.

Contoh lain adalah kasus Baiq Nuril di Lombok, yang dihukum karena menyebarkan rekaman pelecehan seksual yang ia terima dari atasannya. Meski ia korban, sistem hukum malah menjadikannya terdakwa karena “melanggar UU ITE”.

4. UU ITE: Senjata Tajam untuk yang Lemah, Tumpul untuk yang Kuat

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu regulasi yang sering dipakai tidak pada tempatnya. Banyak aktivis, jurnalis, dan warga biasa dipenjara karena dituduh menyebarkan hoaks, mencemarkan nama baik, atau menyebarkan ujaran kebencian, padahal mereka hanya menyuarakan pendapat.

Ironisnya, ketika tokoh publik atau elite menyebarkan informasi bohong atau ujaran kebencian yang nyata, hukum terasa tumpul dan lamban bergerak. Hal ini memperlihatkan bagaimana hukum bisa menjadi alat represi, bukan keadilan, tergantung pada siapa yang menggunakannya.

5. Diskriminasi dalam Penegakan Hukum

Salah satu bentuk ketidakmasukakalan dalam hukuman di Indonesia adalah diskriminasi yang sangat terlihat dalam proses penegakan hukum. Masyarakat miskin dan kurang berpendidikan sangat rentan dijadikan kambing hitam, sementara mereka yang memiliki kekuasaan atau koneksi bisa “mengatur” proses hukum agar menguntungkan mereka.

Contoh nyatanya adalah bagaimana beberapa orang yang melakukan kejahatan berat seperti penipuan berskala besar atau penggelapan dana bisa “damaikan” secara kekeluargaan atau menggunakan celah hukum seperti restorative justice, sementara pencuri sandal jepit bisa dibawa ke pengadilan.

6. Hukuman yang Malah Merusak Masa Depan

Hukuman seharusnya bersifat edukatif dan memulihkan, bukan sekadar menghukum. Namun, sistem peradilan Indonesia kadang justru menghancurkan masa depan seseorang. Remaja yang melakukan pelanggaran kecil bisa masuk penjara dan akhirnya belajar menjadi kriminal sungguhan. Tanpa sistem rehabilitasi yang jelas, penjara justru menjadi tempat “pendidikan kriminal” alih-alih tempat memperbaiki kesalahan.

Dalam kasus narkoba, banyak pengguna yang seharusnya direhabilitasi malah dipenjara dan dicampur dengan narapidana berat. Akibatnya, mereka kehilangan masa depan dan mengalami trauma yang mendalam.

7. Ketidakjelasan Hukum Adat dan Hukum Formal

Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya dan hukum adat yang beragam. Namun, sering kali hukum adat berbenturan dengan hukum formal negara. Misalnya, dalam beberapa daerah, pelanggaran seperti pencurian bisa diselesaikan secara adat tanpa harus masuk pengadilan. Namun ketika aparat negara masuk, penyelesaian adat dianggap tidak sah, dan pelaku tetap harus dihukum secara formal.

Kasus-kasus seperti ini memperlihatkan bagaimana hukum negara belum mampu bersinergi dengan kearifan lokal, padahal seharusnya hukum hadir untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang paling efektif dan adil, bukan sekadar prosedural.

Kesimpulan: Perlu Reformasi, Bukan Sekadar Evaluasi

Fenomena hukuman tidak masuk akal di Indonesia mencerminkan betapa perlunya reformasi besar dalam sistem hukum. Evaluasi saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan pembenahan struktural dan perubahan paradigma hukum yang lebih humanis, adil, dan kontekstual.

Penegakan hukum harus menempatkan keadilan sebagai nilai utama, bukan sekadar menjalankan aturan. Masyarakat juga perlu mendapatkan edukasi hukum agar tidak selalu menjadi korban dari sistem yang timpang.

Selain itu, transparansi dan integritas lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, menjadi kunci utama untuk menciptakan kepercayaan publik terhadap hukum. Selama masih ada ketimpangan dalam menghukum si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, maka hukum Indonesia akan terus dianggap tidak masuk akal oleh rakyatnya sendiri.

Tagged , , , , ,